Di Indonesia, khususnya Jawa, Sumatera dan Bugis serta Bali, telah mengenal keris sejak jaman Kabudhaan. Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mataa dianggap sebagai senjata tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga sebagai kelengkapan budaya spiritual. Dalam “Legenda Jawa” dikatakan, bahwa untuk menjadi seorang pria yang sejati, maka seseorang harus memiliki lima hal, yakni sebuah keris pusaka (secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan, keperkasaan dan kejantanan), seekor kuda (kendaraan, simbol masa kini adalah motor atau mobil), burung peliharaan (bagi seorang pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan serta berolah-seni), seorang wanita (seorang istri) dan sebuah rumah. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela negara, perlambangnya adalah keris.
Salah satu keunikan keris adalah kekuatannya pada detil. Hampir setiap detil yang melekat pada keris, baik pada bilahnya, warangka maupun perabotnya semuanya bisa menjadi simbol. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada berbagai macam varian. Dalam budaya jawa bagi dalam dua garis besar gaya: Surakarta dan Yogyakarta. Di luar itu, tentu masih ada lagi gaya lain warangka atau ukiran luar Jawa seperti: Madura, Bali, Lombok, Sulawesi, Sumatera.
Keris memiliki 3 bagian, yaitu;
1. Pegangan keris
Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya tergantung dari mana keris itu berasal,karena setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, misalnya untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia. Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul. Dan untuk daerah-daerah lainnya seperti Aceh, Riau , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
2. Wrangka atau Rangka
Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum. Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu;
1. Jenis wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring.
2. Jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya, sedangkan keris wrangka gayaman digunakan dalam perang, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
3. Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan.
- Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran).
- Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja. Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan.
- Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk, jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija ,atau keris tidak lazim.
Pada zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu, tanda mata paling tinggi nilainya adalah keris. Pemberian paling berharga dari seorang Raja Jawa kepada para perwiranya atau abdi dalem, adalah keris. Begitu pula yang terjadi sewaktu pemerintahan Soehatto, tanda mata yang selalu diberikan kepada negara lain ketika berkunjung atau negara kita yang dikunjungi adalah KERIS. Sebegitu berharganya warisan kebudayaan leluhur kita yang harus kita jaga, pertahankan dan lestarikan, agar tetap menjadi warisan kebudayaan yang agung.
0 komentar:
Posting Komentar